ads

Slider[Style1]


ads

Berita

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

NILAI UKHUWWAH ISLAMIYYAH


Allooh  berfirman (yang artinya): Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara (TQS al-Hujurot [49]: 10).

Terkait ayat di atas, Imam Ali ash-Shobuni dalam Shofwah at-Tafasir antara lain menyatakan: hanya antara sesama Muslim persaudaraan itu ada, tidak antara Muslim dan kafir; persaudaraan karena faktor keimanan adalah jauh lebih kuat daripada persaudaraan karena faktor hubungan darah.

Hal ini sebagaimana juga ditegaskan oleh Baginda Rosuulullooh , “Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya.” (HR al-Hakim).

Bahkan Rosuulullooh  bersabda, “Perumpamaan kaum Mukmin itu dalam hal kasih sayang, sikap welas asih dan lemah-lebut mereka adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, anggota tubuh lainnya akan merasakan panas dan demam.” (HR Abu Dawud).

Baginda Rosuulullooh  juga pernah bersabda, sebagaimana penuturan Bara’ bin ‘Azib, “Baginda Rosuulullooh  telah memerintahkan kepada kami tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara pula. Beliau memerintahkan kami untuk: menjenguk orang sakit; mengiringi jenazah (ke kuburan); mendoakan orang yang bersin; membenarkan sumpah; menolong orang yang terzalimi; memenuhi undangan; dan menebarkan salam...” (HR al-Baihaqi).

Bahkan sekadar mengunjungi seorang Muslim, hal demikian merupakan amal perbuatan yang amat terpuji. Tsauban menuturkan bahwa Baginda Rosuulullooh  pernah bersabda, “Sesungguhnya seorang Muslim itu, jika mengunjungi saudaranya, berarti selama itu ia berada di taman surga.” (HR Muslim).

Ali ra menuturkan bahwa Rosuulullooh  pun pernah bersabda, “Tidaklah seorang Muslim mengunjungi Muslim yang lain pada pagi hari, kecuali seribu malaikat mendo'akan dirinya hingga sore hari. Jika ia mengunjungi Muslim yang lain pada siang hari, seribu malaikat akan mendoakannya hingga pagi hari.” (HR at-Tirmidzi).

Karena bersaudara, di antara kaum Mukmin haram saling mencela, menyakiti, apalagi saling membunuh. Baginda Rosuulullooh SAW bersabda, “Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, sementara membunuhnya adalah kekufuran.” (HR al-Bukhori dan Muslim).

Haram pula di antara sesama Mukmin saling menzalimi dan saling tidak peduli. Sebaliknya, mereka wajib untuk saling membantu dan tolong-menolong dengan saling menghilangkan kesulitan, bahkan sekadar menutup aib saudaranya. Rosuulullooh  pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Umar, “Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak saling menzdholimi dan saling membiarkan. Siapa saja yang menghilangkan suatu kesulitan dari seorang Muslim, maka Allooh  akan menghilangkan kesulitan bagi dirinya di antara berbagai kesulitan pada Hari Kiamat kelak. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, Allooh pasti akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat nanti.” (Muttafaq a’laih).

Rosuulullooh  juga pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairoh ra. “Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak saling mengkhianati, saling mendustakan dan saling menghinakan. Setiap Muslim adalah haram bagi Muslim yang lain menyangkut kehormatan, harta dan darahnya.” (HR at-Tirmidzi).

Bahkan dalam sebuah hadits qudsi, ketidakpedulian seorang Muslim terhadap Muslim lainnya seolah-olah disamakan dengan ketidakpedulian terhadap Allooh . Dalam hal ini, Abu Hurairoh ra menuturkan bahwa Baginda Rosuululullooh  pernah bersabda: Sesungguhnya Allooh  berkata pada Hari Kiamat nanti, “Wahai manusia, Aku pernah sakit. Mengapa engkau tidak menjenguk Aku.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk Engkau, sementara Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allooh  berkata, “Bukankah engkau dulu tahu hamba-Ku si fulan pernah sakit di dunia, tetapi engkau tidak menjenguknya? Bukankah engkau pun tahu, andai engkau menjenguk dia, engkau akan mendapati Diri-Ku di sisinya? Wahai manusia, Aku pernah meminta makan kepada engkau di dunia, tetapi engkau tidak memberi Aku makan.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku memberi Engkau makan, sementara Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allooh  menjawab, “Bukankah engkau tahu, hamba-Ku pernah meminta makan kepada engkau, tetapi engkau tidak memberi dia makan? Bukankah andai engkau memberi dia makan, engkau mendapati Diri-Ku ada di situ?” Wahai manusia, Aku pernah meminta minum kepada engkau, tetapi engkau tidak memberi Aku minum?” Manusia berkata, “Tuhanku, bagaimana aku memberi Engkau minum, sementara engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allooh  menjawab, “Bukankah engkau tahu, hamba-Ku pernah meminta makan kepada engkau di dunia, tetapi engkau tidak memberi dia makan? Bukankah andai engkau memberi dia makan, engkau mendapati Diri-Ku ada di situ?” (HR Muslim).

Beliau pernah bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik pelaku kezaliman maupun korban yang dizalimi.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rosuulullooh, saya menolongnya jika ia didzholimi. Lalu bagaimana saya harus menolong orang yang melakukan kezaliman?” Rosuul menjawab, “Cegahlah dia dari berlaku zalim. Itulah bentuk pertolongan kamu kepadanya.” (HR al-Bukhori).

Pastinya, persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) itu bersifat universal; lintas etnik, suku/bangsa, bahasa; juga lintas daerah, negara bahkan benua.

Wama tawfiqi illa billaah.

Mahasiswa ITS Ciptakan Baterai dari Tomat


SURABAYA - Tiga mahasiswa Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yakni Febrilia Agar Pramesti, Abduh Muharram Chairacita, dan Putri Augista Nur Azizah, menciptakan baterai gel memanfaatkan sari buah tomat sebagai pengganti zat kimia berbahaya pada baterai.
Pengarah dari karya inovasi tersebut, Randy Yusuf Kurniawan, mengatakan dalam komposisinya, baterai memiliki elektrolit (zat kimia) yang berbahaya bagi lingkungan, seperti lithium dan timbal. Terlebih, jika zat tersebut bereaksi akan menimbulkan ledakan dan keracunan pada tubuh.
"Buah tomat berasa asam tersebut diukur keasamannya melalui kadar vitamin C dan menghasilkan 10-40 miligram vitamin C per 100 gram tomat. Tomat yang menjadi bahan uji adalah tomat mentah sampai masak dengan mengambil sari tomat terlebih dahulu dengan cara dijus kemudian diuji," katanya.
Dia menjelaskan, asam sebagai sumber proton, ketika bereaksi dengan elektroda menghasilkan elektron yang mengalir ke sirkuit luar sehingga terjadi aliran listrik.
"Tetapi, sari tomat tersebut masih berbentuk cairan, di mana elektrolit yang berupa cairan menghasilkan tegangan listrik yang kecil," ujarnya.
Alhasil sebelum dirangkai menjadi baterai, sari tomat ditambahkan biopolimer berupa agarose untuk menjadi elektrolit berbentuk gel. Penambahan agarose mampu meningkatkan densitas atau kerapatan elektrolit.
"Rapatnya elektrolit membuat nilai tegangan listik menjadi tinggi," ujar mahasiswa pascasarjana ITS asal Surabaya itu seperti dikutip dari inilah.
Sementara itu, ketua tim kelompok itu, Febrilia Agar Pramesti mengatakan tegangan listrik yang dihasilkan dan diperoleh yakni 1 volt dengan memberikan perlakuan melalui perbandingan volume sari tomat dan agarose encer sebesar 1:2. Sedangkan untuk agarose encer sendiri dibuat dengan melarutkan biopolimer agarose ke dalam air dengan perbandingan volume 1:3.
"Nilai tegangan 1 volt yang dihasilkan itu hanya dalam skala kecil. Bisa jadi jika dilakukan scale up atau pembesaran skala volume, tegangan listrik pada baterai gel ini akan lebih besar," katanya.
Baterai gel dari buah tomat ini juga dinilai tim mampu menghasilkan tegangan dan arus yang sangat stabil.
"Kami menjalankan baterai selama 30 menit, tegangannya menjadi 0,985 volt, hanya selisih 0,015 volt saja, selisih ini sangat sulit diperoleh pada penelitian baterai umumnya," ujar Febri.
Melalui inovasi ini pun, tim berharap baterai gel dari buah tomat ini bisa digunakan oleh masyarakat sebagai baterai yang ramah lingkungan, serta mampu mengantarkan timnya untuk lolos bertarung di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-31 yang bakal digelar pada Agustus mendatang di Yogyakarta.

Muslimah HTI: Bahaya Sekulerisasi Pendidikan, Pintu Masuk Penjajahan Barat


Jakarta - Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir, bekerjasama dengan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan sebuah konferensi perempuan internasional yang fenomenal di Jakarta, Indonesia, dengan judul, “Khilafah & Pendidikan: Menghidupkan Kembali Masa Keemasan” untuk mengatasi krisis pendidikan yang saat ini melanda dunia Muslim, Sabtu, 11 Maret 2017.
Konferensi ini dihadiri sekitar 1700 perempuan berpengaruh, termasuk guru, dosen, ulama, dan para pakar di bidang pendidikan lainnya, serta mahasiswa, aktivis mahasiswa, tokoh masyarakat, jurnalis, dan perwakilan organisasi.
Sementara orator yang hadir berasal dari Indonesia, Inggris, Malaysia, Palestina, Belanda, Turki dan negara lainnya. Mereka menguak tuntas problem pendidikan global, bahaya sekulerisasi pendidikan sebagai pintu masuk penjajahan Barat di negeri-negeri Islam dan bagaimana Islam menawarkan konsep pendidikan terbaik untuk mengatasinya.
Fika Komara dari Divisi Kantor Media Hizbut Tahrir wilayah Asia Tenggara mengatakan, pendidikan adalah metode untuk menjaga akidah. Maka ketika pendidikan dipisahkan dari agama, tamatlah riwayat agama. “Tsaqofah Islam dihapuskan dari pendidikan, maka terhapuslah identitas umat,” katanya.
Sementara itu, Dr Nazreen Nawaz dari Divisi Muslimah Kantor Pusat Hizbut Tahrir menjabarkan hebatnya visi pendidikan era Khilafah. Ia menyebut, ada tiga tujuan utama pendidikan Islam, yakni pertama, membangun syakhsiyah Islam. Anak didik dibangun aqidah Islamnya sebelum mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, mengajarkan keterampilan dan pengetahuan praktis untuk kehidupan. Para murid diajarkan keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka. Seperti matematika, sains umum, serta pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan berbagai alat dan penemuan. Ketiga, mempersiapkan murid untuk memasuki pendidikan tinggi atau universitas.
Di sinilah diajarkan ilmu-ilmu utama yang menjadi prasyarat, apakah ilmu budaya atau tsaqafah seperti Fiqh, Bahasa Arab, atau Tafsir Alquran, ataupun ilmu empiris seperti matematika, kimia, biologi, atau fisika.
Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rochmah menambahkan, pendidikan Islam bukan sekadar sekolah Islam terpadu, tapi kebijakan politik di bidang pendidikan yang komprehensif yang diterapkan oleh negara melalui institusi Khilafah.

Sejarah emas di era Khilafah mencatat, pendidikan Islam menghasilkan para ahli di segala bidang. Bahkan melahirkan generasi terbaik yang tidak hanya ahli di bidang sains dan teknologi, juga memiliki kepribadian Islam dan mampu menghantarkan Isam sebagai peradaban nomor satu dunia. Itulah abad keemasan di masa Khilafah.
Iffah mengatakan, peradaban maju karena ditopang oleh kebijakan pendidikan yang komprehensif, berbasis aqidah Islam. Negara menjamin hak warga muslim maupun nonmuslim, laki-laki maupun perempuan dalam pendidikan secara maksimal. Namun zaman kegemilangan itu redup berubah menjadi zaman kegelapan seiring runtuhnya Khilafah.
Kini, generasi Muslim harus bahu membahu membangun kepribadian Islam di sekolah-sekolah di tengah kepungan nilai-nilai dan hukum sekuler. Sungguh berat. Tidak mudah mencetak generasi Islam di dalam habitat peradaban sekuler. Karena sesungguhnya, kepribadian Islam yang kuat tidak dapat dibangun secara massif pada generasi muda kita tanpa adanya Khilafah.

RONTOKNYA AKTIVIS DAKWAH SELEPAS NIKAH

Ilustrasi Rontoknya semangat

Belakangan ini Nun seperti anggota grup vokal yang sedang mengambil jalur “solo karier”. Menyanyi seorang diri. Sayangnya, Nun bukan anggota grup vokal yang senang menyumbang suara sumbang. Nun hanya kader dakwah yang merasakan kesunyian membunyikan suara di barisan kerohanian Islam. Rekan-rekan dakwahnya menghilang.
Rekan pertamanya sudah menikah. Rekan keduanya sudah menikah juga dan rekan ketiganya juga. Ketiga rekan yang tergabung dalam satu departemen itu dulu adalah sosok-sosok yang aktif bergerak dalam barisan yang rapi. Aktif bervokal dalam ranah lokal. Tak pasif melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, daurah, pantia qurban dan sebagainya. Namun semua berubah pascamenikah. Nun, yang masih melajang, melihat betapa menikah itu ruang berbenah. Juga tohok telak baginya.
Pernah kah merasakan (atau mengalami?) apa yang dirasakan Nun dan yang terjadi pada kawan-kawan perjuangannya yang mengalami keloyoan pasca nikah?
Seorang kawan yang tinggal di Depok mengaku pernah mengalami fase seperti ini.
“Sekitar 6 bulan saya pernah vakum setelah menikah. Tidak muncul dalam kegiatan dakwah, banyak ditanyakan ikhwah. Setelah merasa cukup adaptasi dengan istri, saya kembali berdakwah, aktif lagi.” Ucapnya kepada penulis pada suatu malam.
Banyak yang bilang ta’aruf yang sebenarnya itu ketika setelah menikah. Awal-awal menikah juga perlu ‘adaptasi’, menikmati ‘dunia milik berdua’ dengan suami atau istri, bisa sampai enam bulan atau setahun (?). Yang kelewatan itu jika raib dari peredaran pergerakan padahal tugas dakwah di depan mata sudah menunggu si ‘pengantin baru’ itu. Belum lagi nanti ketika terlena ketika hadirnya baby yang menggemaskan, padahal“Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allooh lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 28).
Ada itu di sebuah halaqah bahasa Arab, para pesertanya yang tadinya ramai kini kosong melompong. Sebab, para pesertanya sudah menikah.
Jika masih mengenaskan, coba tengok kembali; apa tujuan menikah?
Apakah benar untuk menggenapkan setengah din?
Seharusnya setelah menikah ruhiyah itu makin gagah. Makin rajin tilawah, dakwah tak kenal kata ogah, hafalan makin nambah, tak sering bolos halaqah.
Jika setelah menikah ruhiyah makin payah, mungkin menikah bukan lagi menggenapkan setengah agama, tapi membuat beragama jadi setengah-tengah. Bukan alfu mabruk tapi alfu ambruk. Walloohu a’lam.

Zaman Amar Ma'rur dan Nahi Munkar Ditinggalkan


Anas bin Malik berkata:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَدَعُ الائْتِمَارَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ إِذَا ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَتْ الْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ وَالْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِي رُذَالِكُمْ


Ditanyakanlah kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, kapan kami akan meninggalkan amar makruf dan nahi munkar?” Beliau menjawab, “Jika muncul di tengah kalian suatu perkara yang pernah muncul pada zaman Bani Israil, yaitu perbuatan keji dilakukan oleh para pembesar, pemerintahan dipegang oleh anak-anak kecil, dan ilmu berada di tangan orang-orang yang (bermental) rendah.”(HR. Ibnu Majah, Al-Fitan, hadits no. 4015 [Sunan Ibnu Mâjah: 2/1331)

Membaca sirah kehidupan para salaf, kita akan dapati kisah mereka bertabur semangat amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka sadar bila hidup mereka bagai satu kaum yang berada dalam satu bahtera; semua harus kompak menjaga kapal tersebut agar tidak rusak. Satu orang yang melubangi bagian bawah kapal karena ingin mengambil air dengan cara praktis dibiarkan, maka yang tenggelam bukan hanya si pelubang kapal. Namun seluruh penumpang juga akan tenggelam bersama. Kisah Umar bin Khattab di saat menjelang sakaratul maut yang menegur pemuda berpakaian isbal dan kisah anak kecil yang menegur Imam Abu Hanifah supaya berhati-hati agar tidak tergelincir, adalah sedikit contoh bagaimana semangat mereka untuk selalu menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai bagian penting kehidupan mereka.

Adalah Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi yang selalu mendampingi Nabi SAW merasa khawatir bila pola hidup dan tradisi ini suatu saat akan lenyap. Maka beliau bertanya kepada RasulullahSAW tentang datangnya masa di mana kaum muslimin akan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Riwayat di atas menjelaskan ada tiga ciri zaman di mana kaum muslimin akan kesulitan, atau nyarismerasa putus asa untuk melaksanakan ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar. Ciri zaman itu mirip seperti yang pernah berlaku pada masyarakat Bani Israel;

Pertama, Para penguasa dan pembesarnya sangat rusak moralnya, lantaran hobi mereka berbuat fakhisyah/ zina dan semua produk turunannya.Ketika para pelaku maksiat dan fakhisyah ini adalah para penguasa (politik maupun ekonomi), maka umat Islam akan sangat berat untuk melakukan nahi munkar atas mereka. Sebab, para penguasa ini lazim memiliki backing yang kuat untuk melindungi kemaksiatan yang mereka lakukan.

Para pembesar dan penguasa ini bisa membayar para preman dan polisi untuk mengamankan perbuatan keji mereka. Dan inilah fakta yang terjadi, dimana kaum muslimin yang ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan berhadapan dengan kekuatan para preman bayaran ini. Banyaknya korban umat Islam dan semakin kuatnya backing penguasa ini membuat kaum muslimin putus asa dan merasa tidak banyak manfaat amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan.

Kedua,ketika kekuasaan dipegang oleh mereka yang masih belia. Makna shighar bisa berarti belia secara usia biologis namun juga bisa bermakna belia secara psikologis dan ideologis.Watak dominan anak muda adalah ceroboh, tergesa-gesa, serta mudah menurutkan hawa nafsunya. Jika demikian, maka tatanan masyarakat akan menjadi sangat rapuh dan permisif. Sebab, standar hidup mereka akan kepuasan syahwat. Namun, jika yang dimaksud dengan shigharuhum itu adalah orang-orang bermental rendah, fasik dan fajir, maka bencana yang akan terjadi lebih besar. Berdasarkan berbagai riwayat yang ada, makna shigharyang berarti orang-orang rendahan dan fasik adalah yang lebih kuat.

Inilah yang sedang kita saksikan. Ketika para penguasa adalah mereka yang bermental rendah, fasik dan fajir, pendosa dan sangat hobi dengan maksiat, lagi-lagi amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi tumpul. Sebab –sekali lagi- para penguasa bermental rendah itu akan sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Dan, nyaris sebagian besar program mereka saat berkuasa adalah melestrarikan kemaksiatan dan kemunkaran.

Ketiga, orang-orang fasik yang mempermainkan ilmu agama. Jika ilmu dipegang oleh orang-orang yang fasik, bisa dibayangkan mereka akan mempermainkan ilmu yang ada pada dirinya dengan berbagai takwilan tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyesatkan. Mereka juga menggunakan kedua sumber ini untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya.

Kelompok JIL dan para pendukungnya, dengan segenap kekuatan finansial dan sayap medianya akan menyebarkan syubhat dan kerancuan berfikir ke tengah umat. Hal yang membuat siapapun akan berfikir panjang untuk mendebat dan melawan pemikiran rusak mereka. Sebab, mereka sangat lihai bersilat lidah. Pun, jika para ulama yang tsiqah bisa mematahkan hujjah mereka, maka segenap jejaring sosial dan media sekuler akan segera membungkam berita tersebut agar tidak tersebar ke tengah umat. Jika mereka sedikit berada di atas angin, maka media-media sekuler itu akan ramai memblow-up, hingga seakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar itu akan terpojok, lalu dihujat bersama sebagai kelompok anarkis, anti demokrasi atau bahkan dianggap kekanak-kanakan.

Inilah zaman dimana ketiga ciri itu sangat nyata kita saksikan hari ini. Ciri yang dominan adalah kolaborasi kejahatan ulamanya dan kebejatan penguasanya; dua musuh utama yang membuat amar ma’ruf nahi munkar nyaris tidak berfungsi. Sebab, kedua akan bermain besi.Yang perlu diingat, isyarat hadits di atas bukan legimitasi meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar secara total.Namun lebih kepada penggambaran betapa beratnya ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab.

Top